Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2017

Energi Terbarukan Bukan Solusi Satu-Satunya untuk Meredam Kehangatan Bumi

Sumber : Econotimes Mungkin beberapa hari yang lalu sebuah berita mengenai kebijakan Departemen Energi Amerika yang diliput oleh Econotimes membuat kaget bagi para netizen . Namun di kalangan akademisi atau energy anthusiast momen ini sudah dapat diprediksi sejak kebijakan Presiden Amerika, Donald Trump, pada 1 Juni 2017 untuk hengkang dari perjanjian "hijau"  Paris Climate Conference  yang diadakan di Paris pada akhir 2015 silam. Perjanjian yang telah ditandatangani 195 negara, termasuk Indonesia, menetapkan sebuah aksi global untuk menempatkan dunia pada jalur yang tepat agar terhindar dari perubahan iklim yang ekstrim dengan membatasi pemanasan global di bawah 2 o C. Banyak kata kunci pada perjanjian ini, yang paling utama yaitu mengurangi dan menekan laju emisi gas rumah kaca (GHK). Yang mengejutkan dari berita tersebut tidak lain ialah langkah Amerika ke depan untuk memerangi energi terbarukan, bukan malah memelihara dan melanjutkan para pejuang energi hijau.

Bilah Raksasa yang Bias dan Reaksi Abadi yang Dijauhi

Apa yang pertama kali di pikiran anda saat mendengar energi terbarukan ? Kalau saya boleh jujur, kincir angin pertama terlintas di benak saya sewaktu SD yang saat itu masih sering didengar sebagai PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Angin) namun sekarang lebih disebut bayu sehingga berubah menjadi PLTB. Tak dapat dipungkiri juga, kebanyakan orang awam mungkin akan berpendapat demikian.   PLTB pun menjadi sebuah  stereotype seakan energi ini menjadi energi masa depan di Indonesia, terlebih dengan berbagai poster dan landscape  keren yang ada di film-film. Sumber : Bloomberg Penerapannya pun makin meningkat tiap tahun dengan dibarengi penurunan energi fosil. Denmark dianggap menjadi sebuah kiblat dalam penerapan energi terbarukan ini selain negara maju lainnya di Eropa seperti Jerman, Norwegia dan Swedia. Dengan berbagai berita dan video mengenai teknologi mereka, netizen  seakan terperangah dan berpendapat bahwa energi mereka bebas dari  CO 2 Sumber : https://www.elec

Maritim Bukan Hanya Soal Protein, Tapi Juga Energi

Indonesia menempati urutan ke-2 negara dengan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. Badan Informasi Geospasial, menyebutkan total panjang garis pantai di Indonesia pada tahun 2013 adalah 99.093 kilometer. Disini tidak akan dibahas mengenai korelasi garis pantai terhadap produksi garam di Indonesia. Namun lebih dari itu Coba bayangkan, hampir seratus ribu kilometer daratan yang dikelilingi oleh lautan lepas ataupun selat yang setiap detiknya dihantam oleh deburan ombak, menyisiri setiap jengkal garis pantai. Selain itu, ombak tadi bergerak menjauh dan mendekat dari bibir pantai dengan periode waktu yang relatif tetap, yang disebut dengan pasang surut air laut. Pasang surut air laut ini amatlah penting dalam transportasi perairan, baik komersial bagi kegiatan pelabuhan ataupun bagi mereka yang mengandalkan rezekinya di lautan lepas dengan menangkap ikan. Di bangku sekolah dasar kita telah dikenalkan mengenai pasang surut air laut yang disebabkan oleh gravitasi antara

Biofuel sebagai Pionir Penurunan Konsumsi Energi Fosil

Konsumsi Bahan Bakar Mesin (BBM) di Indonesia akan terus meningkat seiring bertambahnya jumlah kendaraan bermotor. Sehubungan dengan itu, penggunaan energi fosil minyak bumi digeber habis-habisan untuk menyediakan pasokan BBM ke masyarakat Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, konsumsi BBM di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan total konsumsi mencapai 70 milyar liter pada tahun 2016. Transportasi menjadi jantung dari pergerakan roda ekonomi. Hal ini tidak dapat dihentikan begitu saja dengan menekan penggunaan berbagai alat transportasi, mulai dari kendaraan bermotor, truk dengan mesin diesel, hingga pesawat yang menggunakan mesin jet. Pada prinsipnya, semua kendaraan tersebut menggunakan sistem internal combustion engine  atau mesin pembakaran dalam yang bergantung pada bahan bakar cair. Dalam penggunaannya, emisi gas buang berupa CO 2  menjadi perhatian yang intens dewasa ini karena sifatnya yang merusak lapisan ozon dan menjadi gas rumah ka